Minggu, 23 September 2012

Ibu, Izinkan Aku Berjilbab

“Hidup di dunia tanpa uang nggak bakal bisa hidup! Zaman sudah semakin maju, kalau kamu tak mencari uang, dunia akan memakan hidupmu! Untuk apa kamu beribadah terus kalau kamu nggak cari uang! Nggak usah mikir halal apa nggak, yang penting kita bisa hidup dengan uang!” garang seorang wanita berparuh baya pada anak yang begitu teduh wajahnya. Setiap hari, setiap kali ia membasuh wajahnya untuk pergi menghadap-Nya, setiap itulah ia harus mendengar amarah seorang wanita yang selalu menyuruhnya mencari uang, uang, dan uang. Tidak peduli halal dan haram. Yang terpenting dalam kamus wanita itu “Hidup itu uang.” Ia hanya terdiam membisu dan tunduk setiap kali ia mendesir dalam hatinya, “Mengapa Ibu selalu menjadikan hidup itu uang?” Ya, rupanya, wanita itu ialah ibunya. Pernah suatu ketika dengan lemah lembut dan isak suara yang terbata, ia bertanya pada Ibu mengenai itu. Namun apa yang terjadi? Ibu hanya mencerca dan mengusirnya. Ia tak dapat melawan. Bagaimanapun juga wanita itu adalah Ibunya yang wajib dihormati, yang memberi nama dan merawatnya hingga kini. Dalam akta kelahirannya tertera nama, Muliana Dea Safitri. Jika dipikir-pikir nama itu tidak biasa, penuh dengan makna islami. Namun apa nyatanya? Mereka hanya menggantungkan pada uang yang membutakan mereka. Terlebih Ibu. Tetapi tidak untuk Dea. Mereka hidup dengan banyak kekurangan dan hanya tinggal berdua setelah kematian Bapaknya yang sangat tragis pada 14 tahun lalu, saat Dea masih duduk di kelas 3 SD. Masa yang berbeda dari anak lainnya. Ketika yang lain terisi dengan warna warni dunia sekolah, Dea justru membanting tulang untuk ibu dan dirinya, meski hanya sebagai loper koran. Sedangkan Ibu menjadi salah satu pegawai salon kecantikan, yang setiap saat berkutat dengan alat-alat make up. Bahkan semenjak Bapak meninggal, Ibu melepas jilbabnya dan tidak pernah lupa memakai make up setiap akan bekerja. Terlebih lipstick dan blass on yang selalu ia bawa ke mana-mana. Katanya, agar terlihat awet muda. Pagi datang. Itu pertanda Dea harus memulai aktivitasnya. Ia raih jilbab kusutnya sedari SD, pemberian Bapak sebelum meninggal. Untung masih layak pakai, tetapi bagi dirinya, bagus atau tidaknya itu tidak penting. Yang terpenting dengan jilbabnya itu ia merasa benar-benar menjadi seorang wanita. Seperti kata Utadzah yang pernah ia dengar bahwa jilbab ialah identitas wanita yang harus dijaga. Baginya jilbab itu membuatnya nyaman dan terhindar dari jelalat mata lelaki yang tak bertanggungjawab. Pukul 07.00 saatnya ia bekerja. Menerjang teriknya mentari dengan sepeda bututnya yang selalu menemani, demi terkumpulnya uang untuk sesuap nasi. Meskipun puasa, tetapi bukanlah halangan untuknya untuk terus bekerja. “Dea, kali ini ada 80 koran yang saya kasih ke kamu. Bila kamu dapat menjual koran-koran itu lebih dari target seperti biasanya, saya akan kasih bonus untuk kamu. Dan lagi, ada 40 koran yang harus kamu antarkan ke rumah warga. Ini alamatnya,” kata Kepala Redaktur sembari memberikan koran dan daftar alamat warga. “Gerangan apa Bapak baik pada saya hari ini? Sungguh, terima kasih banyak Pak. Saya akan berusaha untuk menjualnya lebih dari target biasanya,” antusias Dea. “Apakah setiap kebaikan harus ada alasannya? Lakukan saja! Agar kamu dapat mengganti jilbab kusutmu itu. Saya jemu melihatnya!” ucap Bapak Saleh itu. “Oh iya ya. Yah, Bapak, ini kan satu-satunya sepeninggalan almarhum Bapak saya. Sayang kan kalau diganti.” “Tetapi bukan berarti kamu memakai itu terus. Kan bisa kamu simpan. Saya kan juga bosan! Apalagi di Bulan Suci Ramadhan ini, kasihan pembeli koran nanti, tak jadi membeli hanya kerena melihatmu begitu kumal. Sayang juga kan!” “Rupanya diam-diam Bapak memperhatikan saya ya. Baiklah, terima kasih Pak. Saya berangkat dulu,” senyum simpul ia utaskan, tak tersinggung sama sekali dengan perkataan beliau. Dalam hati ia berkata bahwa ia harus berusaha mendapatkan bonus itu, sekalipun lapar dan dahaga kian terasa. Ia parkirkan sepeda di pinggir jalan. Seperti biasa ia berkeliling dan menetap dari satu tempat ke tempat lainnya. “Koran, koran, koran, koran, koran, korannya Pak, Bu, Mas, Mbak. Cuma seribu rupiah. Dari berita Nasional sampai Internasional pun ada. Cuma seribu rupiah lho,” semangat Dea. Tanpa takut serak ia terus berteriak ke sana ke mari di persimpangan jalan. Dan tiba-tiba ada seorang pemuda gagah memanggil Dea di balik kaca jendela mobilnya yang sedikit terbuka. “Dek, korannya 4 ya,” ucap pemuda itu. “Oh iya Mas, tunggu. Nah ini, jadi empat ribu rupiah ya Mas.” “Kamu nggak sekolah?” “Saya harus bekerja mencari uang.” “Mencari uang? Anak semuda kamu sudah mencari uang?” heran pemuda itu mengeryitkan dahinya. Pemuda itu memandang lekat-lekat ujung kepala hingga ujung kaki Dea. “Memang tidak boleh, Mas? Mengapa Mas memandang saya begitu?” heran Dea. “Ya, terserah kamu. Oh, tidak-tidak, hanya melihatmu saja. Sebenarnya kauini memiliki paras yang cantik, tetapi penampilanmu saja yang terlihat kumal. Hm, sepertinya kaupantas jadi media saya. Ini ambil kartu nama saya. Hidupmu akan jauh lebih baik dari sekarang bila kau datang ke alamat itu dan mau bekerja untuk saya,” sambil menyodorkan kartu namanya. “Media? Media apa? Terima kasih, Mas.” “Kauakan tahu sendiri bila kaudatang,” menutup jendelanya dan pergi meninggalkan Dea. Dalam kartu nama itu tertera nama Broto Subayaningrat. Pemilik Studio Foto Model. “Studio Foto Model? Untuk apa aku datang ke sana? Sampai Mas-mas tadi bilang aku cantik dan pantas jadi medianya? Jangan-jangan…….,” gumamnya dalam hati dan terpotong ketika pembeli memanggilnya. “Mbak, Mbakk, Mbakkk,” panggil Ibu muda pada Dea sambil menepuk bahunya. “Eh iya Bu, maaf saya tadi melamun.” “Bukannya kerja malah melamun saja. Bagaimana mau dapat pelanggan banyak, kalau penjualnya suka melamun! Bagaimana si Mbak! Meski puasa, semangat dong Mbak! Saya mau beli korannya 2 Mbak.” “Iya-iya Bu, maafkan saya. Terima kasih sudah diingatkan, Bu. Ini Bu, jadi dua ribu rupiah ya.” Pergi menyusuri satu tempat ke tempat lainnya. Menggayuh dan terus menggayuh pedal sepedanya. Tak peduli terik matahari semakin menyengat. Untung ia berjilbab dan berlengan panjang. Setidaknya mengurangi panas yang kian menyengat. Hingga sore hari akhirnya ia mampu menjual korannya sampai 70 koran, yang biasanya ia hanya dapat menjual 50 koran. Hari ini memang sedang menjadi harinya. Ramadhan memang penuh berkah. Sesampainya di rumah, Ibu sudah menunggunya di depan pintu. Tanpa basa-basi Ibu berkata, “Ibu mau berbicara denganmu. Cepatlah masuk!” “Baik Bu.” “Besok kamu ijin 1 hari pada Bosmu. 1 hari itu akan menjadi hari yang sangat berharga untuk kita. Untuk mengubah keterpurukan kita selama ini.” “Tapi Bu, tidak memungkinkan aku untuk ijin. Beliau pasti akan marah.” “Sudahlah! Kamu nurut saja apa kata Ibu. Kalau perlu keluar saja sekalian. Apa kamu mau jadi loper koran seumur hidup? Keluar keringat, lelah, panas, dan belum tentu dapat uang banyak. Jangan membantah!” Dea hanya tertunduk lesu. Memikirkan bagaimana ia harus berbicara esok hari pada Bosnya yang galak tetapi baik itu. Esok harinya. “Pak, ada yang mau saya bicarakan dengan Bapak.” “Apa? Katakan saja.” Dengan sedikit gemetar ia berkata, “Saya mau ijin hari ini ada kepentingan dengan Ibu. Saya mohon maaf sekali, saya tidak bisa bekerja hari ini. Boleh, Pak?” “Oh, boleh. Kamu belum pernah ijin selama kamu bekerja. Dan saya rasa kamu adalah salah satu pekerja yang rajin. Pergilah,” ramah Bapak Saleh mengijinkan. “Sungguh, Pak? Bapak tidak marah? Wah, terima kasih banyak. Saya pergi dulu. Sekali lagi terima kasih, Pak Saleh,” pergi meninggalkan tempat redaksi dan pulang ke rumah. Setiba di rumah. “Masuk ke kamar Ibu sekarang! Cepat, waktu semakin berjalan! Jangan sampai semua gagal!” perintah Ibu. “Iya Bu, sebenarnya Dea mau diapakan, Bu?” “Masuk saja! Pakai kain ini untuk menutup matamu!” Dalam pikirnya, mungkin Ibu mau memberikan kejutan padanya yang tak pernah ia dapatkan lagi setelah Bapak pergi meninggalkan mereka. Di dalam kamar Ibu. Semua perlengkapan make up, Ibu keluarkan. Termasuk pakaian cantik yang Ibu pilihkan untuk Dea. Pakaian yang memperlihatkan lekak lekuk tubuhnya, mengumbar aura yang memanah mata lelaki. Tidak peduli Ramadhan atau bukan, yang terpenting Ibu harus melakukan misinya. Semua siap di atas kasur Ibu. Dan saatnya Ibu memoles wajah Dea. Setelah 15 menit lamanya, sungguh takkan ada yang berkedip sedikitpun jika melihatnya. Cantik jelita. “Buka penutup matamu!” perintah Ibu lagi. “Ibu, mau ke mana kita berdandan seperti ini? Dea nggak suka dengan pakaian begini. Mana jilbab Dea Ibu? Dea mau pakai! Dea nggak mau pakai baju seperti ini! Nggak mau!” kesal Dea. Begitu kaget Dea melihat dirinya sendiri. Marah dan kecewa pada Ibu. “DIAM! Ikuti saja mau Ibu. Buat apa jilbabmu? Sudah kusut, kumal, tidak layak pula! Lihatlah, kamu lebih cantik berdandan seperti ini anakku. Jilbabmu hanya akan menutupi kecantikanmu saja. Manfaatkan kecantikanmu! Ayo kita pergi!” menarik tangan Dea. “Ibuuuuu, Dea nggak mau keluar! Dea malu. Dea malu. Dea malu Ibu! Apa kata orang-orang di luar sana yang sedang berpuasa bila Dea berpakaian seperti ini Bu kasihan lelaki yang melihat Dea. Sama saja Dea yang memancing mereka untuk melihat aurat Dea. Dea tidak rela Bu!” keluarlah air matanya yang tak tertahan di pelupuk mata. “Cantik-cantik begini kok malu. Puasa-puasa! Yang puasa itu mereka ya biarkan. Nggak usah pikirin orang lain. Kalau orang itu tidak mata keranjang, mereka tidak akan melihatmu. Tergantung merekanya saja! Apa kamu puasa? Nggak kan? Untuk apa puasa kalau hati kita belum bener! Jangan menangis! Make upmu bisa luntur! Sudahlah, jangan membuat telinga Ibu sakit karena suaramu!” Ibu memang tidak berpuasa. Bagi Ibu puasa tidak menguntungkan. Hanya menahan lapar dan dahaga saja. Namun tidak untuk Dea, diam-diam ia berpuasa. Meski ia harus menahan lapar dan dahaganya tanpa sahur. Mengingatkan Ibuuntuk berpuasa pun percuma. Pasrah. Dengan langkah gontai dan tertunduk dalam, Dea berjalan dengan Ibu. “Angkat wajahmu! Jangan menunduk. Kamu ini cantik. Percayalah sama Ibu. Pakaianmu juga biasa saja. Tidak terbuka sekali! Angkat dong sayang,” sambil mengangkat dagu Dea agar paras cantiknya bisa terlihat. Langsung semua mata munuju padanya. Tidak lain, lelaki yang berhidung belang. Kecewalah sudah Dea pada dirinya sendiri. Gugurlah sudah puasanya di hari itu. Malu berat. Tak dapat bekutik sedikitpun. Setiba di Studio Foto Model. “Selamat Pagi Pak Broto. Seperti janji saya, saya akan membawa anak saya ke hadapan Bapak. Bagaimana? Cantik bukan? Sudah, Bapak tidak perlu banyak pertimbangan lagi. Cepat saja jadikan ia sebagai model percobaan desain gaun Bapak, sebelum ia diambil oleh studio lain lho,” rayu Ibu. Terheran-heran Pak Broto pada Dea, “Lho, kaukan loper koran yang berjilbab kusut itu kan? Yang kemarin saya kasih kartu nama saya. Iya kan? Apa saya bilang, kauini cantik jelita. Takkan rugi menjadi model saya. Tenang, kauakan diajarkan bergaya oleh pihak sini.” Dea hanya tertunduk malu dan lemas. Pasrah. “Wah, rupanya Bapak sudah mengenal anak saya. Baguslah. Dunia memang sempit! Jadi Bapak setuju kan?” “Ya jelas saya setuju dong! Tinggal anak Ibu saja yang mau menurut dengan kami.” “Oh tenang Pak, semuanya bisa diatur. Anak saya jelas mau. Iya kan sayang?” lirik Ibu pada Dea. “I, I, I, ya Bu,” terbata ia menjawab. “Kan Pak, sudah saya bilang. Pasti anak saya mau,” yakin Ibu. “Baiklah, kalau begitu Ibu tanda tangan di sini. Sebagai tanda kontrak kerja kita. Ini ada sedikit uang untuk membeli baju-baju untuk datang ke sini esok hari. Tidak mungkin anak Ibu datang ke sini mengenakan pakaian seperti itu. Saya tahu pasti kalian membutuhkan uang ini,” menyodorkan segenggam uang. “Ah, Bapak tahu saja. Baik Pak. Terima kasih.” Semua berhasil, dalam perjanjian itu Dea akan mendapat honor satu juta sekali foto. Di mana ia harus 5 kali foto setiap 1 minggu sekali. Berarti dalam seminggu Dea akan memperoleh uang sebanyak 5 juta. Waw, itu sama saja uang yang dikumpulkan oleh Dea dari pekerjaannya selama 3 tahun. Esok pagi Dea harus sudah menjalani masa kontraknya itu. Bekerja menjadi seorang model foto percobaan desain gaun Pak Broto yang masih muda itu. “Gitu dong! Itu baru anak Ibu. Di sana jangan macam-macam ya! Kamu harus menurut dengan perkataan pihak sana. Ibu yakin, kamu bisa melakukannya. Tersenyumlah, kamu memang cantik seperti Ibu.” “Iya Bu,” jawabnya lemah. Ketika ia sampai di musholla kesehariannya, ia langsung menuju kamar mandi. Ia mengeluarkan jilbab barunya yang ia beli dari bonus yang dikasih oleh Pak Saleh. Rupanya ia berganti pakaian seperti biasanya. Dan ternyata, ia tidak menuju studio foto di mana ia harus bekerja. Malah, dia kembali lagi menjadi seorang loper koran. Seperti biasa ia menjalani aktivitasnya, berjualan koran. Begitu seterusnya ia lakoni diluar sepengetahuan Ibu. Yang Ibu tahu, Dea menjalani pekerjaannya sebagai foto model dengan baik. Hingga 1 minggu kemudian, pihak studio foto menghampiri Ibu ke rumah ketika Dea masih bekerja. Mereka menagih kontrak kerjanya yang tak kunjung dilakoni oleh Dea. Ibu marah dan kecewa. Ibu menghadang Dea di depan pintu dengan amarah yang ingin diluapkan. “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Bu. Dea pulang,” senyum Dea pada Ibu. “Bagus ya kamu, sudah berani berbohong pada Ibu. Kamu pikir Ibu nggak tahu hah? Selama ini ke mana saja kamu! Ibu malu dengan Pak Broto. Sama saja kita melanggar janjinya. Kamu tidak kasihan sama Ibu? Kamu betah hidup dengan penuh kekurangan? Iya? IYA hah?” kemarahan Ibu terluapkan sudah. Dea hanya diam membisu. Semakin tertunduk. Tak tahu harus berkata apa. Ia pun ingin marah juga dengan Ibu atas perlakuan Ibu yang tidak Dea suka. Tetapi apa dikata, Dea tak dapat berkutik. Bagaimana pun juga ia adalah Ibunya. “Ditanya malah diam saja! Jawab! Ke mana saja kamu? Mengapa kamu tidak menuruti kata-kata Ibu, Dea! Hidup kita itu sengsara. Ibu sudah tidak betah dengan semua ini! Tuhan itu tidak adil!” suara Ibu semakin meninggi. “Dea menjadi loper koran lagi. Maaf Bu, Dea terpaksa berbohong pada Ibu. Dea nggak suka dengan kemauan Ibu. Dea takut Allah marah sama Dea. Dea takut Ibu! Bapak pernah bilang sama kita, kita tidak boleh membuat Allah marah atas sikap-sikap kita. Apa Ibu tidak ingat? Iya Bu? Ibu tidak takut dosa? Apalagi ini Bulan Suci Ramadhan Bu. Ramadhan Ibu! Dea takut Bapak juga marah sama kita,” sambil memegang kedua kaki Ibu dengan isak tangis yang tak tertahankan. “Lepas! Jangan pegang kaki Ibu. Ibu kecewa denganmu! Ramadhan-ramadhan, nggak peduli! Apa kamu bilang? Kamu takut dengan Allah? Untuk apa ingat sama Allah? Untuk apa hah? Untuk apa? Apa Allah pernah mengabulkan doa-doa kita untuk tidak hidup melarat seperti ini. Padahal kita sudah bekerja keras. Tapi apa? Buka matamu! Dosa? Apa yang dosa? Menjadi seorang model cantik saja dosa! Di luar sana banyak model cantik yang tidak mempermasalahkan kerjaannya, sekalipun memakai baju terbuka, mereka biasa saja kan! Kamu berlebihan! Di luar sana saja banyak, untuk apa kita takut!” “Itu mereka Bu! Ini Dea, bukan mereka!” “Bapakmu? Asalkan kamu tahu, dulu keluarga kita tidak semelarat ini! Tetapi semenjak Bapak pergi, apa? Apa? Semua menjadi semakin berantakan. Dulu, Bapakmu rajin ibadah. Tapi ketika kamu mengalami kecelakaan parah, kondisi ekonomi kita sedang tidak mendukung. Bapakmu meminjam banyak uang untuk mengoperasi tanganmu yang robek. Dan itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit! Bapak meminjam pada orang yang disangkanya baik dan dermawan. Tapi apa buktinya? Bapakmu justru dibunuh oleh orang itu karena tidak kunjung melunasi hutangnya. Mana janji Allah untuk menolong hambanya yang terkena musibah? Mana janji-Nya untuk orang yang beribadah pada-Nya? Mana? Sampai sekarang kita tetap melarat kan? Bahkan Bapakmu mati menggenaskan hanya karena hutang yang belum terlunasi. Apa itu tidak kejam? Untuk apa ibadah terus kalau Tuhan tidak mendengarkan kita! Pikir coba! Pikir! Jika Allah baik dan adil, nggak mungkin Allah tega mencabut nyawa Bapakmu dengan begitu tragis! Hidup itu uang! Tanpa uang kita bakal mati begitu saja! Kamu mau hah? Mau mati seperti Bapakmu?” panjang lebar Ibu marah pada Dea. “Jadi, jadi, jadi itu alasan Ibu bahwa hidup itu uang? Hanya karena Ibu merasa Allah tidak menepati janjinya? Dan kematian Bapak itu karenaku Bu? Mengapa Ibu tidak bilang dari dulu. Mengapa Ibu bilang Bapak meninggal karena sakit parah? Apapun yang terjadi saat dulu, Dea betah dengan hidup seperti ini. Daripada Dea harus menjadi model yang melepas jilbab Dea!” “Iya, Ibu lelah berdoa terus tapi Allah tidak pernah membalasnya! Iya, semua karenamu! Sini tasmu!” paksa Ibu menarik tas Dea. “Astaghfirullah Ibu, itu cobaan dari-Nya sampai mana keimanan kita Ibu. Jangan sampai kita meninggalkan Allah Ibu. Lagi pula Allah tidak akan memberikan cobaan pada hambanya di luar kemampuan kita. Ibu pasti tahu itu kan? Untuk apa Bu tas Dea?” lagi-lagi bulir menetes di pipinya. “Sini!” sambil mengeluarkan baju dan jilbab Dea. “Mau diapakan baju dan jilbab Dea Bu?” cemasnya. Ibu masuk dalam kamar Dea. Mengambil semua baju-baju kumalnya. Korek api dan minyak tanah pun sudah siap. “Ibu, Ibu mau apa? Korek api? Minyak tanah? Ibu mau membakar semua baju-baju Dea? Ibu boleh bakar semua itu. Tapi tolong, tolong, tolong, jangan bakar jilbab Dea Ibu! Jangan! Jangan! Jangannnn! Itu hasil jerih payah Dea Ibu! Satu-satunya jilbab Dea setelah Ibu membuang jilbab pemberian Bapak dulu,” menangislah ia sekencang-kencangnya, menghiraukan tetangga yang mendengar perdebatan mereka. Begitu kencang memeluk kaki Ibu sampai ia terluka terkena depakan Ibu. “DIAM KAMU!” semakin Ibu marah. Semua terkumpul menjadi satu. Entah mengapa Ibu sampai semarah itu, membakar semua baju-baju lusuhnya Dea termasuk jilbab satu-satunya yang ia beli. Terbakarlah sudah semua itu. Ibu menambahkan minyak tanah, api pun semakin berkobar. Dan semakin deras pula air mata mengalir di pipinya. “Jangan Ibu, JANGANNNN!” semakin terisak tangisnya. “Ini adalah akibat kamu membohongi Ibu dan tidak mau menuruti kata Ibu. Jika kamu membantah lagi, Ibu tidak segan akan membakarnya lagi. Jilbabmu hanya akan menutupi kecantikanmu yang justru bisa menghasilkan banyak uang! Paham kamu!” “IBU JAHAT! Ibu tidak mengerti Dea! Dea tetap TIDAK AKAN menuruti kemauan Ibu menjadi seorang model. Dea tatap akan memakai jilbab sampai kapan pun Bu. TIDAK AKAN! Lebih baik Dea hidup susah daripada hidup kaya dengan uang yang tidak diridhoi Allah.” “Apa kamu bilang? Berani ya menantang Ibu. Ridho Allah itu ada pada ridho orangtua juga Dea! Kamu itu anak Ibu. Kalau kamu tetap teguh dengan keinginanmu itu. Jangan pernah panggil Ibu lagi! Jika kamu mau menjadi seorang model kamu ikut Ibu. Tapi jika tidak, pergilah dari rumah ini! Ibu tidak butuh anak yang tidak berbakti!” ucap Ibu yang tidak disangka-sangka akan mengucapkannya. “Ibu mengusir Dea? Ibu tidak membutuhkan Dea? Mengapa Ibu semarah itu? Maaf Ibu, maaf, bukan bermaksud Dea tidak menjadi anak yang berbakti untuk Ibu. Tapi Dea hanya ingin istiqomah dengan jilbab Dea. Dea tidak ingin melepasnya,” berusaha memeluk Ibu, meski Ibu menepisnya. Diam sejenak menghela nafas. “Ibu, izinkan aku berjilbab,” ucap Dea dengan begitu gemetar dan tangis yang semakin terisak. “Ibu, izinkan aku berjilbab, Bu. Dea akan melakukan apapun untuk Ibu. Asalkan tetap menggunakan jilbab dan sesuai aturan Allah Bu. Dea takut Allah marah.” “Oh, berarti tandanya kamu harus pergi dari rumah ini! Silakan, pintu terbuka lebar untuk anak yang tidak berbakti. Mulai sekarang, kamu bukan anak Ibu lagi! Ibu tidak mau melihat wajahmu lagi! Ibu bisa cari anak yang lebih cantik dari kamu untuk menggantikan kontrak kerja kamu! Dan tentunya hidup Ibu akan lebih baik dari sekarang.” “Tolong Ibu, jangan begitu. Dea harus tinggal di mana? Dea ingin sama Ibu terus.” “Tinggal saja di musholla. Banyak-banyaklah berdoa agar kamu bisa hidup kaya dengan jilbabmu itu.” Ya, rupanya Dea tetap istiqomah dengan pendiriannya. Ia meninggalkan Ibu dan rumahnya. Dengan tangan kosong ia pergi. Memakai kain jarit dan peniti untuk menutupi rambutnya. Betapa teguh ia menutupi auratnya, meski jilbab sudah menjadi abu, tidak ada alasan lain untuk tidak menutupinya. Dea tidak tahu harus ke mana ia pergi. Hingga tanpa sadar langkah kaki mengantarkannya ke musholla. Kebetulan saat itu adzan maghrib berkumandang. Berhentilah ia di sana untuk berbuka, sholat dan berdoa. Siapa tahu ia mendapat petunjuk apa yang harus ia lakukan dan ke mana ia harus melangkah setelah tarawih nanti. Dalam sujud jamaah terakhir, Dea begitu khusyuk menghadap-Nya. Ketika yang lain selesai sholat, Dea tetap berada dalam sujudnya tadi. Tak bergerak sama sekali. Orang-orang yang melihatnya bingung, apa yang harus dilakukan. Takut mengganggu sholatnya, tetapi juga takut terjadi apa-apa. Karena kalau memang ia sedang sholat seharusnya sudah selesai dari tadi bersama dengan jamaah lain. Seorang Ibu-ibu menepuk lembut lengan Dea. Membangunkannya yang disangka tertidur dalam sujud. Baru sekali tepuk, tubuh Dea dengan ringan terjatuh. Orang-orang memeriksanya, sebenarnya apa yang terjadi pada wanita yang sedang sujud tadi. Setelah diperiksa rupanya Allah berkehendak lain. Allah telah memanggil Dea dalam keadaan bersujud. Innalillahi wainnailaihi rajiun. Dalam hembusan terakhirnya saat bersujud, sungguh benar adanya kuasa Allah, wajahnya bersinar dan tersenyum cantik. Semoga keistiqomahan dan kekayaan hatinya akan menjadi kekayaan di akhirat nanti, seperti ucapan terakhir Ibu padanya yang bisa menjadi doa, “Banyak-banyaklah berdoa agar kamu bisa hidup kaya dengan jilbabmu itu.” Semoga ia termasuk golongan orang khusnul khotimah. Meninggal dalam keadaan baik. Ya Allah, masukkanlah ia ke dalam golongan orang berpuasa yang bukan menahan lapar dan dahaga saja, melainkan golongan orang berpuasa yang bertaqwa kepada-Mu. Aamiin. Cukuplah terbukti ketaqwaannya pada-Mu Ya Rabb. Ia mencintai-Mu melebihi cintanya pada orang lain meski Ibunya sekalipun, yang tak menganggapnya sebagai anak lagi. Hanya kepada Engkaulah ia kembali. Sungguh, Ramadhan yang meninggalkan sejuta warna makna kehidupan. SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar