Rabu, 03 Agustus 2011

Alat Transportasi Pada Laut Masa Kejayaan Kerajaan di Nusantara

Alat Transportasi Pada Laut Masa Kejayaan Kerajaan di Nusantara - Kebesaran dan kehebatan kerajaan-kerajaan di Nusantara pada zaman lalu sangat terkenal.  Kerajaan Sriwijaya, Padjajaran, Kutai Kartanegara hingga Majapahit yang mampu mempersatukan nusantara yang sangat luas.  Tidak salah bahwa ada lagu “Nenek moyangku seorang pelaut” , ya benar nenek moyang bangsa Indonesia adalah seorang pelaut bukan petani.  Sangat masuk akal karena Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia.  Kekayaan alam lautnya pun sangat berlimpah, tetapi pertanyaanya sekarang mengapai sampai dengan saat ini kita tidak memaksimalkan Laut yang kita miliki?..malah diambil oleh orang lain?..Oke forget it.
Kembali ke kerajaan-kerajaan masa lalu.  Pertanyaan di benak kita bagaimana alat transportasi laut  pada masa kejayaan kerajaan di Nusantara? Saya menemukan artikel menarik mengenai Alat Transportasi Laut pada masa kejayaan kerajaan di Nusantara yang di telaah dari relief-relief di Candi Borobudur. Di Candi Borobudur ada relief-relief perahu, anara lain berupa perahu cadik. Ini sangat menarik perhatian karena di tengah gambaran kehidupan agama Buddha dipahatkan pula perahu cadik, suatu jenis perahu rakyat yang menjadi alat perhubungan antar pulau di wilayah Nusantara pada masa silam.
Pada masa lampau pernah terjadi migrasi, yaitu perpindahan penduduk dari satu negeri ke negeri lain. Orang India dan Cina datang ke Indonesia dengan berbagai maksud, umumnya untuk berdagang. Perjalanan mereka ke Indonesia menggunakan perahu, baik perahu India, perahu Cina, perahu Eropa ataupun perahu Asia Tenggara.
Konstruksi badan perahu cadik tidak berbeda dengan lainnya. Yang berbeda hanya cadik-nya, yaitu alat pengapung di kanan-kiri perahu yang fungsinya menjaga keseimbangan. Dengan tambahan cadik tersebut perahu tidak mudah tenggelam akibat hantaman gelombang laut. Keselamatan adalah tujuan utama pembuatan perahu. Karena ketangguhan perahu cadik maka jenis perahu ini banyak digunakan di zamannya.
Di Candi Borobudur dipahatkan 11 gambar perahu (lihat Th. van Erp 1923). Bentuk-bentuk perahu ini oleh van Erp dibagi menjadi tiga golongan:
1.    Kano atau sampan sederhana yang dibuat dari sebatang kayu yang dilubangi;
2.    Kano tersebut dengan tambahan dinding papan, tetapi tanpa cadik;
3.    Sama dengan kano nomor 2, namun ditambah dengan cadik.
Sementara itu van der Heide mengelompokkan perahu-perahu ini berdasarkan tiang layar dan cadiknya ke dalam lima golongan (lihat van der Heide 1927).
Mengenai perahu-perahu cadik itu dapat digambarkan demikian. Badannya dari kayu yang kuat dan di atas dinding dipasang pagar pengaman yang kokoh. Jika tidak ada angin maka perahu ini dikayuh lewat bawah  pagar. Di anjungan dan buritan ada papan kayu besar seolah-olah sebagai lanjutan dari luas perahu. Perahu digerakkan dengan dua layar. Layar besar ditambatkan pada tiang utama, sedangkan layar kecil ditambatkan pada tiang ke dua yang letaknya dekat buritan.
Cadik perahu dipasang pada masing-masing sisi perahu. Di candi Borobudur ditemukan lima relief perahu cadik, empat relief pertama dipahatkan pada dinding utama lorong pertama deretan bawah no. 53, 86, 88 dan 108. Satu relief lagi dipahatkan pada dinding utama lorong kedua deret bawah no. 41. Lima perahu cadik ini badannya serupa, tetapi tidak sama, demikian pula bentuk cadiknya. Pada relief no. 53 cadiknya berupa dua balok kayu yang diikat di tiga tempat dalam posisisejajar dengan badan perahu, lalu dua balok sejajar ini dirangkai dengan tiga balok yang keluar dari tiga tempat di badan perahu.
Pada relief no. 86 cadiknya terdiri atas empat balok kayu; tiap dua balok diikat sendiri, lalu dua pasang ikatan balok ini dirangkai oleh tiga balok yang keluar dari badan perahu di tiga tempat. Pada relief no. 88 cadiknya juga terdiri atas empat balok kayu yang langsung dirangkai dengan balok yang keluar dari badan perahu di tiga tempat.
Pada relief no. 88 cadiknya juga terdiri atas empat balok kayu yang langsung dirangkai dengan balok yang keluar dari badan perahu di tiga tempat. Pada relief no. 41 cadiknya terdiri atas tiga balok sejajar (dua balok yang disebelah luar berdekatan) yang langsung dirangkai dengan tiga balok yang keluar dari badan perahu di tiga tempat. Model cadik pada relief no. 41 ini sama dengan cadik pada relief no. 108.
Perahu Cadik Borobudur
Konstruksi badan perahu cadik tidak berbeda dengan lainnya. Yang berbeda hanya cadik-nya, yaitu alat pengapung di kanan-kiri perahu yang fungsinya menjaga keseimbangan. Dengan tambahan cadik tersebut perahu tidak mudah tenggelam akibat hantaman gelombang laut. Keselamatan adalah tujuan utama pembuatan perahu. Karena ketangguhan perahu cadik maka jenis perahu ini banyak digunakan di zamannya.
Di Candi Borobudur dipahatkan 11 gambar perahu (lihat Th. van Erp 1923). Bentuk-bentuk perahu ini oleh van Erp dibagi menjadi tiga golongan:
1.    Kano atau sampan sederhana yang dibuat dari sebatang kayu yang dilubangi;
2.    Kano tersebut dengan tambahan dinding papan, tetapi tanpa cadik;
3.    Sama dengan kano nomor 2, namun ditambah dengan cadik.
Perahu Nusantara Lain
Di wilayah Nusantara dikenal berbagai macam bentuk perahu, antara lain perahu pinisi dari Bugis, perahu mayang dari Cirebon, perahu sampan dari Betawi, perahu jonggolan dari Semarang an Surabaya, perahu sekong dari Pasuruan dan perahu j ukung dari Bali dan Lombok, Perahu sekong dan jukung juga dipasang cadik.
Pada relief Borobudur juga dipahatkan perahu tanpa cadik, tetapi tidak dapat diidentifikasikan nama-namanya. Perahu biasa tersebut digambarkan pada balustrade lorong ke-empat deretan atas no. 54, pada balustrade lorong pertama deret no. 193 dan pada dinding utama lorong pertama deret bawah no. 108. Perahu-perahu ini digambarkan dengan satu layar saja.
Perahu Sriwijaya
Di kawasan Asia Tenggara sejak masa Sriwijaya di abad VII M sudah digunakan berbagai perahu. Prasasti Kedukan Bukit bertahun 605 Saka atau 683 M, yang ditemukan di tepi kota Palembang menyebutkan suatu ekspedisi kerajaan Sriwijaya yang dilakukan oleh Dapunta Hyang menggunakan perahu dan lainnya berjalan kaki lewat jalan darat.
Ada tiga tempat temuan perahu kuna, yaitu di Kolam Pinisi (1989). Sungai Buah dari Samirejo (1988), semuanya dekat kota Palembang. Temuan perahu di situs Kolam Pinisi dan Samirejo dibuat dengan “teknik papan-ikat dan kupingan-pengikat”, dalam istilah asing disebut: “swen-plank and lashed-lug technique”, Teknik pembuatan perahu demikian berkembang di Asia Tenggara sehingga sering disebut: “teknik tradisi Asia Tenggara”. Sisa perahu di Samirejo disebut telah diperiksa di laboratorium dengan metode Carbon 14 dan menghasilkan keterangan bahwa sisa perahu tersebut berasal dari tahun 610-775 M.
Keterangan prasasti Sriwijaya dan temuan artepak perahu di sekitar Palembang ini menunjukkan bahwa jauh sebelum perahu cadik Borobudur dipahatkan, telah banyak perahu lain dipergunakan sebagai sarana perhubungan di Asia Tenggara. Mungkin sekali masyarakat Kepulauan Riau yang disebut Orang Laut yang hidupnya di atas perahu, terus ikut berperan dalam mengembangkan armada laut bagi Kerjaan-kerajaan yang pernah tampil di Selat Malaka, termasuk kerajaan Sriwijaya.

Berikut ini beberapa gambar mengenai Alat Transportasi Laut pada masa kejayaan kerajaan di Nusantara dari Kerajaan Majapahit :

2 komentar: