Sekarang Kami Dianggap Sampah... (Kisah dari Korps Cacat Veteran RZ, Jakarta Selatan)
Sekitar pukul dua siang, Katana bernomor polisi B 1754 BV memasuki halaman sebuah gedung yang tampak sepi di Jalan Tambak No. 11, Jakarta Selatan. Di depan bangunan yang catnya sudah kusam itu terpampang plang bertuliskan Kantor Korps Cacat Veteran RI. Tidak terlihat orang bercakap-cakap di depan gedung tersebut atau yang sekadar singgah untuk berlindung dari teriknya matahari siang itu. Dua orang yang mengendarai mobil tadi memarkirkan mobilnya sedikit agak ke kanan depan gedung. Maklum di depan kirinya ada sebuah warung dan takut jika nantinya tertutupi.
Setelah mengucapkan salam, tidak seorang pun ditemui di ruang depan gedung. Hanya terlihat kursi dan meja yang bertumpuk di ruang sebelahnya dan rajutan rumah laba-laba yang seakan menjadi hiasan di ruang itu. Setelah mencoba memberi salam beberapa kali, akhirnya datang seorang yang bertubuh tegap dengan rambut yang sudah memutih. “Cari siapa, Dik?” sapanya dengan ramah. Setelah bercakap-cakap menanyakan maksud dan tujuan kedua orang tadi, ia pun permisi. Bak menjalankan sebuah perintah, ia segera berbalik. Tidak lama kemudian, ia kembali lagi bersama seorang yang badannya lebih besar dan berambut putih semua. “Bapak ini adalah pimpinan di sini,” jelas bapak pertama.
Bapak yang diperkenalkan itu menyebutkan namanya, H. Mahidin Pohan, selaku pimpinan di korps ini, ia punya tugas untuk mengurus keperluan pejuang veteran Indonesia. Sebagai pusat korps veteran, ia juga mengadakan koordinasi dengan korps-korps cabang seluruh Indonesia. Masuknya pria asal Medan ini ke kesatuan tentara pada umur sekitar 17 tahun menjadi awal kepengurusannya di KCVRI.
Risiko mati sudah menjadi komitmen seorang tentara. Tekad itu telah merasuk ke jiwa Pohan tatkala harus menghadapi tentara NICA di perang Medan Area. Beruntung nyawanya masih terselamatkan saat sebuah peluru musuh meluncur ke tubuhnya. Namun, tangan dan dadanya tidak terelakkan jadi sarang peluru itu. “Saya kena tembak bukan karena takut, karena maju,” kenang pria berumur 76 tahun ini. Dua tahun ia menjalani hidup dengan tangan berbau busuk karena stok obat habis. “Kalau ada anak gadis, ia merasa bau pada kita,” tuturnya dengan tertawa tatkala mengingat para gadis menjauh darinya.
Setelah merintis kepangkatan dari BKR (Badan Keamanan Rakyat) sampai TNI (Tentara Nasional Indonesia), Pohan kini dipercaya sebagai ketua KCVRI sampai tahun 2004. Namun, ia merasa kecewa dengan penghargaan pemerintah bagi para cacat veteran. “Habis manis sepah dibuang,” itulah pepatah yang cukup pas untuk menggambarkan kekecewaan Pohan. “Pengalaman kami sakit betul, napasnya satu-satu, ngos-ngosan,” ujarnya tentang kondisi yang dialami sekarang. Pria yang logat Medannya masih kentara ini merasa tidak puas dengan pemerintahan sekarang. “Sekarang kami tidak dianggap siapa-siapa lagi,” ungkap Bapak yang dulu fasih berbahasa Jepang ini. “Tangan saya tidak bisa lurus lagi dan dada saya habis diseret peluru adalah perjuangan saya untuk negeri ini,” lanjutnya. Dulu, pada masa pemerintah sebelum reformasi semuanya berjalan lancar. Mereka tidak mengalami kesulitan dana untuk biaya operasional kantor ini.
Kenyataan pahit harus dialami para pengurus di sini. “Saking tidak ada dananya, listrik mau dicabut,” terangnya. Tagihan terakhir yang mencapai dua jutaan belum bisa mereka lunasi. Untuk menyiasati masalah itu, beberapa bagian gedung ini disewakan, yaitu bagian depan dan bangunan samping. Walaupun kondisinya berubah, tetapi semangat mereka untuk terus memperjuangkan hak-hak teman pejuang tidak surut. Pohan yang cukup vokal tidak enggan melayangkan surat ke pemerintahan setempat dan Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) untuk minta diperhatikan. Satu-satunya dana yang bisa diandalkan sampai saat ini adalah dari Dephankam. Walaupun matanya menyiratkan kekesalan, tetapi dalam hati kecilnya ia tidak pernah menyesali perjuangan dan pengorbanannya. “Saya cinta republik ini,” katanya dengan tetap semangat.
Supranoto, teman seperjuangan Pohan di KCVRI menuturkan penyesalannya terhadap kondisi bangsa Indonesia yang bercerai-berai. “Pada waktu dulu, kita semua bersatu padu. Sekarang mengapa ada yang mau lepas dan terpisah,” ungkap veteran yang berpangkat letnan dua ini dengan nada setengah kecewa. Namun, ia pun tidak menyesal pernah ikut andil dalam memerdekakan bangsa ini. Bapak yang telah berumur 75 tahun ini menuturkan bahwa perjuangan mengusir penjajah merupakan suatu perjuangan tanpa pamrih dan dilakukan semata-mata karena cinta tanah air dan bangsa.
Pejuang lain, Mukhron berpendapat lain. Bapak asli Betawi ini mengemukakan bahwa dirinya sangat senang merasakan republik tercinta ini merdeka karena cita-cita pejuang dulu adalah mengangkat derajat bangsa dari segala hal walaupun mereka diperlakukan kurang semestinya saat ini. “Kita maklum kurang diperhatikan, kalau dikhususkan kita aja tidak adil. Saya masih menghargai pemerintah yang berkuasa,” ungkapnya.
Perjuangannya dimulai sejak dirinya masuk Gerakan Pemuda Banteng. Kariernya dirintis dengan masuk BKR. Sewaktu itulah ia disergap sehingga kena tembak di kaki dan tangannya. Beruntung kala itu, dirinya menolak untuk diamputasi sehingga sekarang ia masih bisa berjalan dengan kedua kakinya. Namun, cacat tidak bisa dihindari. Tangan kanannya kesulitan digunakan untuk menulis. “Soalnya pensil kecil, licin,” jelas Bapak berusia 80 tahun ini. Tidak ayal jika ia menulis dalam satu lembar kertas, bentuk tulisannya bermacam-macam.
Keaktifan dalam korps ini mengisi waktunya setelah pensiun. Selain itu, dirinya memang gemar berorganisasi. Sebelum masuk ke korps ini, Bapak yang memiliki dua anak ini aktif di Korps Invalid Jakarta yang bertujuan untuk menghimpun teman-teman pejuang yang cacat. “Dengan berorganisasi pola pikir saya meningkat,” jelasnya. Berperannya dalam korps ini juga sebagai bentuk perjuangan untuk teman-teman senasibnya sesuai dengan Undang-Undang No.27. Dalam UU itu pasal 19 disebutkan bahwa semua cacat veteran, warakauri, dan yatim piatu pejuang diurus khusus. Pasal 20 dijelaskan bahwa pemerintah berkewajiban mengurus para cacat. Kini, ia punya satu pengharapan agar anak bangsa mengisi kemerdekaan yang telah diperjuangkannya. Kepada para pemimpin negeri ini yang menyeleweng semoga insyaf.
sumber: Kaskus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar